Sabtu, 05 Maret 2016

GEOPHYSICS WORKSHOP-EXPLORE and SEMINAR 2016



HIMA TG BHUWANA dengan bangga mempersembahkan Workshop Geofisika, Fieldtrip dan Seminar yang mengusung tema With Geophysics, We Explore Indonesia's Treasure Energy. Acara yang akan diselenggarakan pada bulan April 2016 dengan bekerjasama dengan berbagai perusahaan minyak dan energi serta instansi terkait ini akan diisi oleh beberapa kegiatan seperti Gala Dinner, Fieldtrip, serta Seminar yang seru dan menambah ilmu. So, Be Prepare To Join Us at GWES 2016!


Info lebih lanjut? Cek:
Facebook: GWES 2016
Twitter: @gwes2016_unila

Senin, 09 November 2015

Geophysics Goes To School (GGTS) 2015 Periode 1 SMAN 2 Metro

Kegiatan GGTS periode 1 kali ini diawali dengan kunjungan dan sosialisasi ke SMAN 2 Metro yang bertempat di kecamatan Metro Barat, Kota Metro. Kegiatan kunjungan dan sosialisasi yang dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 2 siang ini bertujuan untuk mengenalkan dan mempromosikan jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung, dan menarik minat siswa-siswi SMA khususnya kelas XII jurusan IPA untuk bergabung dengan keluarga besar Teknik Geofisika Universitas Lampung.

Tim GGTS 2015 Periode 1 SMAN 2 Metro
Bidang studi geofisika (murni maupun keteknikan) masih terbilang baru dan jarang ada di Indonesia. Oleh karena itulah kegiatan pengenalan seperti ini sangat diperlukan untuk dapat mensosialisasikan pada masyarakat, khususnya para calon mahasiswa mengenai dunia geofisika sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan jurusan di perguruan tinggi nantinya.



Penyampaian Materi di Kelas oleh Tim GGTS 2015
GGTS kali ini melibatkan 13 orang personil dari HIMA TG BHUWANA periode 2015/2016, yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang disebar ke 4 kelas XII IPA. Di masing-masing kelas kelompok-kelompok tersebut ditugaskan untuk menjelaskan dan mempromosikan dunia geofisika dan jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung kepada para siswa di kelas.  



Suasana di Kelas saat Penyampaian Materi
Penjelasan dilakukan dengan menampilkan slide, dan juga video-video seputar dunia Geofisika. Materi yang disajikan berupa pengenalan secara umum ilmu geofisika, kegiatan yang dilakukan oleh geofisikawan, serta prospek kerja dan perkembangan ilmu geofisika ke depan. Respon para siswa dapat dikatakan positif, rasa ingin tahu tentang geofisika juga terbilang bagus. Para siswa banyak berinisiatif untuk saling bertanya jawab dengan pemateri. Mayoritas siswa yang tertarik dengan dunia geofisika ialah karena lulusan sarjana geofisika memiliki peluang yang cukup besar di dunia kerja professional. Kekurangan dari kegiatan kali ini ialah waktu yang diberikan pihak sekolah untuk penyampaian materi yang terlalu singkat, sehingga penyampaian materi juga kurang maksimal.

Kamis, 05 November 2015

Kelebihan dan Kekurangan Bahan Bakar Baru Pertamina Pertalite

Jakarta -Pertalite adalah produk baru dari Pertamina yang diisukan akan menggantikan posisi Premium bahan bakar yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Spesifikasi dari Pertalite ini memang dari segi kualitas lebih baik daripada Premium dengan jumlan RON (Research Octane Number) sebesar 90-91 dibandingkan dengan Premium yang hanya memiliki angka RON 88.
Harga Pertalite sendiri tidak jauh berbeda dari Premium yaitu Rp 8.400 per liter. Selain itu karena memiliki RON yang lebih tinggi dari Premium disebutkan Pertalite dapat menghasilkan pembakaran yang lebih baik daripada Premium, menjaga kualitas mesin kendaraan Anda lebih dari Premium karena akan membuat ruang bakar lebih bersih dan menjaga kualitas lingkungan karena kadar gas emisi yang dikeluarkan menjadi lebih sedikit.

Walaupun hanya berbeda 2 poin dari Premium tapi dampak positif yang dirasakan lebih banyak dan lebih terasa, selain itu konsumsi terhadap bahan bakar menjadi lebih irit dan untuk Anda yang sebelumnya menggunakan bahan bakar Premium kemudian beralih menggunakan Pertalite efek panjang yang dirasakan adalah performa mesih yang menjadi lebih baik dan menambah ketahanan mesin.

Akan tetapi Pertalite sendiri memiliki kekurangan, yaitu tidak banyaknya jenis kendaraan yang bisa memakai jenis baru BBM ini karena sebenarnya kebanyakan jenis kendaraan yang mayoritasnya digunakan oleh masyarakat di Indonesia sudah memiliki spec minimum RON adalah 91-93 jadi sebenarnya untuk bahan bakar sendiri pertamax adalah spek minimun syarat pengisian bahan bakar. Dengan nilai RON 90-91 Pertalite tentu tidak dapat dijadikan bahan bakar pengganti untuk kendaraan yang memang diharuskan menggunakan Pertamax 92 sebagai bahan bakar utamanya. Jenis kendaraan yang menggunakan spek bahan bakar dengan nilai RON 91-93 adalah Toyota Avanza, Daihatsu Xenia, Kijang Innova, Honda Jazz, Suzuki Ertiga, dll.

Oleh karena itu banyak wacana yang bermunculan soal Pertalite ini adalah solusi yang cocok untuk para pengguna kendaraan yang suka mencampurkan bahan bakar Premium dan Pertamax untuk kendaraannya. Akan tetapi tetap saja jika memang kendaraan Anda memang sudah memiliki spesifikasi dengan bahan bakar RON lebih tinggi ada baiknya Anda tetap memakai bahan bakar yang sesuai jangan dipaksakan menggunakan bahan bakar Pertalite kalau memang tidak sesuai jika dengan alasan keuangan. Gunakanlah bahan bakar yang memang sesuai dengan spesifikasi kendaraan Anda untuk mencegahkerusakan terjadi pada kendaraan Anda.


Selasa, 20 Oktober 2015

Keunggulan dan Kelemahan Shale Gas

Shale gas bisa menjadi salah satu sumber energi yang paling penting di tahun-tahun mendatang, dan sebagaiman dengan sumber energi lainnya shale gas memiliki keunggulan dan kelemahan. Sebelum berbicara lebih lanjut tentang keunnggulan dan kelemahan shale gas pertama-tama kita harus mendefinisikan apa itu shale gas. Shale gas adalah gas alam yang diperoleh dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi. Ketika berbicara mengenai keunggulan shale gas, banyak pakar energi yang akan memberikan fakta bahwa shale gas menghasilkan emisi karbon yang secara signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan batubara (shale gas mengeluarkan sekitar setengah dari emisi karbon batubara).

Shale gas juga merupakan sumber energi yang melimpah, misalnya, diperkiraan di Amerika Utara saja terdapat sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup untuk memasok gas alam untuk USA selama 50 tahun atau lebih. Analisa terakhir juga menunjukkan bahwa shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas USA pada tahun 2020.




 Shale gas juga dapat menurunkan biaya energi karena produksi shale gas kemungkinan akan menyebabkan penurunan harga gas alam secara signifikan. Produksi shale gas yang besar juga akan membantu meningkatkan keamanan energi, dan membantu mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil asing yang mahal. Shale gas juga bisa menjadi pilihan energi yang lebih bersih bagi negara-negara berkembang yang saat ini sangat bergantung pada batubara, sumber energi yang paling kotor.




Ada juga beberapa kerugian dari shale gas yang akan di sebutkan di sini. Shale gas meskipun (secara signifikan) merupakan sumber energi yang lebih bersih dibandingkan dengan batubara, masih menghasilkan emisi karbon yang signifikan, sehingga menjadi kurang dapat diterima dari sudut pandang lingkungan dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Ada juga bahaya lingkungan dalam bentuk  potensi kebocoran gas metana dari sumur shale gas yang bisa menurunkan efek pengurangan karbon dioksida dan manfaat iklim dengan beralih dari batubara ke shale gas.

Perkembangan industri shale gas yang cepat bisa memperlambat perkembangan lebih lanjut dari industri energi terbarukan, terutama jika shale gas (bila sesuai yang diperkirakan) menjadi salah satu pilihan energi yang paling murah. Energi terbarukan telah lama sulit bersaing dengan batubara, dan dengan tersedianya shale gas yang murah, ini bisa memperburuk perkembangan di sektor energi terbarukan. Saat ini, biaya ekstraksi shale gas lebih tinggi di bandingkan dengan biaya untuk ekstraksi gas konvensional atau batubara, tetapi kemajuan lebih lanjut teknologi pengeboran dapat membantu mengurangi biaya ekstraksi shale gas. Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa shale gas akan menjadi salah satu faktor penentu di pasar energi

Senin, 12 Oktober 2015

Annals of Seismology 2015 ISSUE



                

The Really Big One

An earthquake will destroy a sizable portion of the coastal Northwest. The question is when.

When the 2011 earthquake and tsunami struck Tohoku, Japan, Chris Goldfinger was two hundred miles away, in the city of Kashiwa, at an international meeting on seismology. As the shaking started, everyone in the room began to laugh. Earthquakes are common in Japan—that one was the third of the week—and the participants were, after all, at a seismology conference. Then everyone in the room checked the time.
Seismologists know that how long an earthquake lasts is a decent proxy for its magnitude. The 1989 earthquake in Loma Prieta, California, which killed sixty-three people and caused six billion dollars worth of damage, lasted about fifteen seconds and had a magnitude of 6.9. A thirty-second earthquake generally has a magnitude in the mid-sevens. A minute-long quake is in the high sevens, a two-minute quake has entered the eights, and a three-minute quake is in the high eights. By four minutes, an earthquake has hit magnitude 9.0.

When Goldfinger looked at his watch, it was quarter to three. The conference was wrapping up for the day. He was thinking about sushi. The speaker at the lectern was wondering if he should carry on with his talk. The earthquake was not particularly strong. Then it ticked past the sixty-second mark, making it longer than the others that week. The shaking intensified. The seats in the conference room were small plastic desks with wheels. Goldfinger, who is tall and solidly built, thought, No way am I crouching under one of those for cover. At a minute and a half, everyone in the room got up and went outside.

It was March. There was a chill in the air, and snow flurries, but no snow on the ground. Nor, from the feel of it, was there ground on the ground. The earth snapped and popped and rippled. It was, Goldfinger thought, like driving through rocky terrain in a vehicle with no shocks, if both the vehicle and the terrain were also on a raft in high seas. The quake passed the two-minute mark. The trees, still hung with the previous autumn’s dead leaves, were making a strange rattling sound. The flagpole atop the building he and his colleagues had just vacated was whipping through an arc of forty degrees. The building itself was base-isolated, a seismic-safety technology in which the body of a structure rests on movable bearings rather than directly on its foundation. Goldfinger lurched over to take a look. The base was lurching, too, back and forth a foot at a time, digging a trench in the yard. He thought better of it, and lurched away. His watch swept past the three-minute mark and kept going.

Oh, shit, Goldfinger thought, although not in dread, at first: in amazement. For decades, seismologists had believed that Japan could not experience an earthquake stronger than magnitude 8.4. In 2005, however, at a conference in Hokudan, a Japanese geologist named Yasutaka Ikeda had argued that the nation should expect a magnitude 9.0 in the near future—with catastrophic consequences, because Japan’s famous earthquake-and-tsunami preparedness, including the height of its sea walls, was based on incorrect science. The presentation was met with polite applause and thereafter largely ignored. Now, Goldfinger realized as the shaking hit the four-minute mark, the planet was proving the Japanese Cassandra right.

For a moment, that was pretty cool: a real-time revolution in earthquake science. Almost immediately, though, it became extremely uncool, because Goldfinger and every other seismologist standing outside in Kashiwa knew what was coming. One of them pulled out a cell phone and started streaming videos from the Japanese broadcasting station NHK, shot by helicopters that had flown out to sea soon after the shaking started. Thirty minutes after Goldfinger first stepped outside, he watched the tsunami roll in, in real time, on a two-inch screen.

In the end, the magnitude-9.0 Tohoku earthquake and subsequent tsunami killed more than eighteen thousand people, devastated northeast Japan, triggered the meltdown at the Fukushima power plant, and cost an estimated two hundred and twenty billion dollars. The shaking earlier in the week turned out to be the foreshocks of the largest earthquake in the nation’s recorded history. But for Chris Goldfinger, a paleoseismologist at Oregon State University and one of the world’s leading experts on a little-known fault line, the main quake was itself a kind of foreshock: a preview of another earthquake still to come.

Most people in the United States know just one fault line by name: the San Andreas, which runs nearly the length of California and is perpetually rumored to be on the verge of unleashing “the big one.” That rumor is misleading, no matter what the San Andreas ever does. Every fault line has an upper limit to its potency, determined by its length and width, and by how far it can slip. For the San Andreas, one of the most extensively studied and best understood fault lines in the world, that upper limit is roughly an 8.2—a powerful earthquake, but, because the Richter scale is logarithmic, only six per cent as strong as the 2011 event in Japan.

VOCABULARY:
Determined         :Bertekad
Meltdown            :Krisis
Lurched               :Meluncur
Particularly       :Khususnya
Lectern              :Podium
Swept                  :Menyapu
Recorded           :Merekam
Bearing              :Bantalan
Foreshock         :Kejutan
Perpetually        : Terus Menerus






Rabu, 30 September 2015

Briptek


Pemetaan Geologi Kuarter Skala 1:50.000 Lembar Ketapang Kabuopaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung

Oleh : BRIPTEK



Peta geologi Kuarter adalah peta yang menggambarkan urut-urutan satuan batuan bawah permukaan(subsurfacegeology), dimana satuan batuannya dikelompokkan berdasarkan lingkungan pengendapanya (litho-fasies). Peta ini lazimnya disebut peta Geologi Kuarter Tipe Penampang (profile type map).Pemetaan geologi Kuarter dilakukan dengan metode pemboran dangkal menggunakan bor tangan (hand auger) pada kedalaman antara  0 – 15 meter melalui sistem grade atau random. telitian berada di Lembar Ketapang, Lampung Selatan yang tercakup di dalam peta geologi lembar anjungkarang Lampung Skala  1 : 50.000.

Endapan Kuarter yang terdapat di daerah pemetaan  sangat berkaitan erat  dengan aktivitas laut, aktivitas arus gelombang  dan aktivitas sungai (fluvial). Fakta tersebut teridentifikasi dari variasi lingkungan pengendapannya yaitu : Endapaan Limpah Banjir (FP), Endapan Kipas Aluvial (FA), Endapan Rawa Bakau (MgS), Endapan Alur Sungai Purba  (CH), Endapan Pematang Pantai (B),  Endapan Pasang Surut (Tf), Endapan Laut Dangkal (Sm), dan pre Holosen (pHs). Kombinasi urut-urutan lingkungan pengendapan secara tegak dan mendatar cermi proses geologi yang terjadi. Informasi geologi bawah permukaan tersebut dapat menerangkan dinamika perkembangan cekungan Kuarter, anatara lain proses pengisian cekungan itu sendiri, kegiatan tektonik Kuarter, dan perubahan permukaan air lut.  Selain itu, informasi mengenai sumber daya mineral berupa bahan-bahan industri serta daya dukung lahan sangat penting bagi pengembangan wilayah.
HIMA TG Bhuwana

geofisikaunila.blogspot.com pindah ke himatg.eng.unila.ac.id